30 Januari 2013

Majlis Maulidur Rasul Putrajaya


23 Januari 2013

Jawapan Prof Dr As Sayyid Muhammad Al Maliki tentang Maulidurrasul s.a.w



Sumber:http://madinatulilmi.com 
Pada bulan Rabiul Awwal ini kita menyaksikan di belahan dunia islam, kaum muslimin merayakan Maulid, Kelahiran Nabi Muhammad Saw dengan cara dan adat yang mungkin beraneka ragam dan berbeda-beda. Tetapi tetap pada satu tujuan, yaitu memperingati kelahiran Nabi mereka dan menunjukkan rasa suka cita dan bergembira dengan kelahiran beliau Saw. Tak terkecuali di negara kita Indonesia, di kota maupun di desa masyarakat begitu antusias melakukan perayaan tersebut.
Demikian pemandangan yang kita saksikan setiap datang bulan Rabiul awwal.
Telah ratusan tahun kaum muslimin merayakan maulid Nabi Saw, Insan yang paling mereka cintai. Tetapi hingga kini masih ada saja orang yang menolaknya dengan berbagai hujjah. Diantaranya mereka mengatakan, orang-orang yang mengadakan peringatan Maulid Nabi menjadikannya sebagai ‘Id (Hari Raya) yang syar’i, seperti ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha. Padahal, peringatan itu, menurut mereka, bukanlah sesuatu yang berasal dari ajaran agama. Benarkah demikian? Apakah yang mereka katakan itu sesuai dengan prinsip-prinsip agama, ataukah justru sebaliknya?
Di antara ulama kenamaan di dunia yang banyak menjawab persoalan-persoalan seperti itu, yang banyak dituduhkan kepada kaum Ahlussunnah wal Jama’ah, adalah As Sayyid Al Muhaddits Al Imam Muhammad bin Alawi Al Maliki. Berikut ini kami nukilkan uraian dan ulasan beliau mengenai hal tersebut sebagaimana termaktub dalam kitab beliau Dzikrayat wa Munasabat dan Haul al Ihtifal bi Dzikra Maulid An Nabawi Asy Syarif.
Hari Maulid Nabi SAW lebih besar, lebih agung, dan lebih mulia daripada ‘Id. ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha hanya berlangsung sekali dalam setahun, sedangkan peringatan Maulid Nabi SAW, mengingat beliau dan sirahnya, harus berlangsung terus, tidak terkait dengan waktu dan tempat.
Hari kelahiran beliau lebih agung daripada ‘Id, meskipun kita tidak menamainya ‘Id. Mengapa? Karena beliaulah yang membawa ‘Id dan berbagai kegembiraan yang ada di dalamnya. Karena beliau pula, kita memiliki hari-hari lain yang agung dalam Islam. Jika tidak ada kelahiran beliau, tidak ada bi’tsah (dibangkitkannya beliau sebagai rasul), Nuzulul Quran (turunnya AI-Quran), Isra Mi’raj, hijrah, kemenangan dalam Perang Badar, dan Fath Makkah (Penaklukan Makkah), karena semua itu berhubungan dengan beliau dan dengan kelahiran beliau, yang merupakan sumber dari kebaikan-kebaikan yang besar.
Banyak dalil yang menunjukkan bolehnya memperingati Maulid yang mulia ini dan berkumpul dalam acara tersebut, di antaranya yang disebutkan oleh Prof. DR. As Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki. Sebelum mengemukakan dalil-dalil tersebut, beliau menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan peringatan Maulid.
Pertama, kita memperingati Maulid Nabi SAW bukan hanya tepat pada hari kelahirannya, melainkan selalu dan selamanya, di setiap waktu dan setiap kesempatan ketika kita mendapatkan kegembiraan, terlebih lagi pada bulan kelahiran beliau, yaitu Rabi’ul Awwal, dan pada hari kelahiran beliau, hari Senin. Tidak layak seorang yang berakal bertanya, “Mengapa kalian memperingatinya?” Karena, seolah-olah ia bertanya, “Mengapa kalian bergembira dengan adanya Nabi SAW?”.
Apakah sah bila pertanyaan ini timbul dari seorang muslim yang mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu utusan Allah? Pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang bodoh dan tidak membutuhkan jawaban. Seandainya pun saya, misalnya, harus menjawab, cukuplah saya menjawabnya demikian, “Saya memperingatinya karena saya gembira dan bahagia dengan beliau, saya gembira dengan beliau karena saya mencintainya, dan saya mencintainya karena saya seorang mukmin”.
Kedua, yang kita maksud dengan peringatan Maulid adalah berkumpul untuk mendengarkan sirah beliau dan mendengarkan pujian-pujian tentang diri beliau, juga memberi makan orangorang yang hadir, memuliakan orangorang fakir dan orang-orang yang membutuhkan, serta menggembirakan hati orang-orang yang mencintai beliau.
Ketiga, kita tidak mengatakan bahwa peringatan Maulid itu dilakukan pada malam tertentu dan dengan cara tertentu yang dinyatakan oleh nash-nash syariat secara jelas, sebagaimana halnya shalat, puasa, dan ibadah yang lain. Tidak demikian. Peringatan Maulid tidak seperti shalat, puasa, dan ibadah. Tetapi juga tidak ada dalil yang melarang peringatan ini, karena berkumpul untuk mengingat Allah dan Rasul-Nya serta hal-hal lain yang baik adalah sesuatu yang harus diberi perhatian semampu kita, terutama pada bulan Maulid.
Keempat, berkumpulnya orang untuk memperingati acara ini adalah sarana terbesar untuk dakwah, dan merupakan kesempatan yang sangat berharga yang tak boleh dilewatkan. Bahkan, para dai dan ulama wajib mengingatkan umat tentang Nabi, baik akhlaqnya, hal ihwalnya, sirahnya, muamalahnya, maupun ibadahnya, di samping menasihati mereka menuju kebaikan dan kebahagiaan serta memperingatkan mereka dari bala, bid’ah, keburukan, dan fitnah.
Yang pertama merayakan Maulid Nabi SAW adalah shahibul Maulid sendiri, yaitu Nabi SAW, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih yang diriwayatkan Muslim bahwa, ketika ditanya mengapa berpuasa di hari Senin, beliau menjawab, “Itu adalah hari kelahiranku.” Ini nash yang paling nyata yang menunjukkan bahwa memperingati Maulid Nabi adalah sesuatu yang dibolehkan syara’.
Dalil-dalil Maulid
Banyak dalil yang bisa kita jadikan sebagai dasar diperbolehkannya memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW .
Pertama, peringatan Maulid Nabi SAW adalah ungkapan kegembiraan dan kesenangan dengan beliau. Bahkan orang kafir saja mendapatkan manfaat dengan kegembiraan itu (Ketika Tsuwaibah, budak perempuan Abu Lahab, paman Nabi, menyampaikan berita gembira tentang kelahiran sang Cahaya Alam Semesta itu, Abu Lahab pun memerdekakannya. Sebagai tanda suka cita. Dan karena kegembiraannya, kelak di alam baqa’ siksa atas dirinya diringankan setiap hari Senin tiba. Demikianlah rahmat Allah terhadap siapa pun yang bergembira atas kelahiran Nabi, termasuk juga terhadap orang kafir sekalipun. Maka jika kepada seorang yang kafir pun Allah merahmati, karena kegembiraannya atas kelahiran sang Nabi, bagaimanakah kiranya anugerah Allah bagi umatnya, yang iman selalu ada di hatinya?)
Kedua, beliau sendiri mengagungkan hari kelahirannya dan bersyukur kepada Allah pada hari itu atas nikmatNya yang terbesar kepadanya.
Ketiga, gembira dengan Rasulullah SAW adalah perintah AI-Quran. Allah SWT berfirman, “Katakanlah, ‘Dengan karunia Allah dan rahmatNya, hendaklah dengan itu mereka bergembira’.” (QS Yunus: 58). Jadi, Allah SWT menyuruh kita untuk bergembira dengan rahmat-Nya, sedangkan Nabi SAW merupakan rahmat yang terbesar, sebagaimana tersebut dalam Al-Quran, “Dan tidaklah Kami mengutusmu melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.” (QS Al-Anbiya’: 107).
Keempat, Nabi SAW memperhatikan kaitan antara waktu dan kejadian-kejadian keagamaan yang besar yang telah lewat. Apabila datang waktu ketika peristiwa itu terjadi, itu merupakan kesempatan untuk mengingatnya dan mengagungkan harinya.
Kelima, peringatan Maulid Nabi SAW mendorong orang untuk membaca shalawat, dan shalawat itu diperintahkan oleh Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat atas Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuknya dan ucapkanlah salam sejahtera kepadanya.” (QS Al-Ahzab: 56).
Apa saja yang mendorong orang untuk melakukan sesuatu yang dituntut oleh syara’, berarti hal itu juga dituntut oleh syara’. Berapa banyak manfaat dan anugerah yang diperoleh dengan membacakan salam kepadanya.
Keenam, dalam peringatan Maulid disebut tentang kelahiran beliau, mukjizat-mukjizatnya, sirahnya, dan pengenalan tentang pribadi beliau. Bukankah kita diperintahkan untuk mengenalnya serta dituntut untuk meneladaninya, mengikuti perbuatannya, dan mengimani mukjizatnya. Kitab-kitab Maulid menyampaikan semuanya dengan lengkap.
Ketujuh, peringatan Maulid merupakan ungkapan membalas jasa beliau dengan menunaikan sebagian kewajiban kita kepada beliau dengan menjelaskan sifat-sifatnya yang sempurna dan akhlaqnya yang utama.
Dulu, di masa Nabi, para penyair datang kepada beliau melantunkan qashidah-qashidah yang memujinya. Nabi ridha (senang) dengan apa yang mereka lakukan dan memberikan balasan kepada mereka dengan kebaikan-kebaikan. Jika beliau ridha dengan orang yang memujinya, bagaimana beliau tidak ridha dengan orang yang mengumpulkan keterangan tentang perangai-perangai beliau yang mulia. Hal itu juga mendekatkan diri kita kepada beliau, yakni dengan manarik kecintaannya dan keridhaannya.
Kedelapan, mengenal perangai beliau, mukjizat-mukjizatnya, dan irhash-nya (kejadian-kejadian luar biasa yang Allah berikan pada diri seorang rasul sebelum diangkat menjadi rasul), menimbulkan iman yang sempurna kepadanya dan menambah kecintaan terhadapnya.
Manusia itu diciptakan menyukai hal-hal yang indah, balk fisik (tubuh) maupun akhlaq, ilmu maupun amal, keadaan maupun keyakinan. Dalam hal ini tidak ada yang lebih indah, lebih sempurna, dan lebih utama dibandingkan akhlaq dan perangai Nabi. Menambah kecintaan dan menyempurnakan iman adalah dua hal yang dituntut oleh syara’. Maka, apa saja yang memunculkannya juga merupakan tuntutan agama.
Kesembilan, mengagungkan Nabi SAW itu disyariatkan. Dan bahagia dengan hari kelahiran beliau dengan menampakkan kegembiraan, membuat jamuan, berkumpul untuk mengingat beliau, serta memuliakan orang-orang fakir, adalah tampilan pengagungan, kegembiraan, dan rasa syukur yang paling nyata.
Kesepuluh, dalam ucapan Nabi SAW tentang keutamaan hari Jum’at, disebutkan bahwa salah satu di antaranya adalah, “Pada hari itu Adam diciptakan:” Hal itu menunjukkan dimuliakannya waktu ketika seorang nabi dilahirkan. Maka bagaimana dengan hari di lahirkannya nabi yang paling utama dan rasul yang paling mulla?
Kesebelas, peringatan Maulid adalah perkara yang dipandang bagus oleh para ulama dan kaum muslimin di semua negeri dan telah dilakukan di semua tempat. Karena itu, ia dituntut oleh syara’, berdasarkan qaidah yang diambil dari hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Mas’ud, “Apa yang dipandang balk oleh kaum muslimin, ia pun balk di sisi Allah; dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin, ia pun buruk di sisi Allah.”
Kedua belas, dalam peringatan Maulid tercakup berkumpulnya umat, dzikir, sedekah, dan pengagungan kepada Nabi SAW. Semua itu hal-hal yang dituntut oleh syara’ dan terpuji.
Ketiga belas, Allah SWT berfirman, “Dan semua kisah dari rasul-rasul, Kami
ceritakan kepadamu, yang dengannya Kami teguhkan hatimu:’ (QS Hud: 120). Dari ayat ini nyatalah bahwa hikmah dikisahkannya para rasul adalah untuk meneguhkan hati Nabi. Tidak diragukan lagi bahwa saat ini kita pun butuh untuk meneguhkan hati kita dengan berita-berita tentang beliau, lebih dari kebutuhan beliau akan kisah para nabi sebelumnya.
Keempat belas, tidak semua yang tidak pernah dilakukan para salaf dan tidak ada di awal Islam berarti bid’ah yang munkar dan buruk, yang haram untuk dilakukan dan wajib untuk ditentang. Melainkan apa yang “baru” itu (yang belum pernah dilakukan) harus dinilai berdasarkan dalii-dalil syara’.
Kelima belas, tidak semua bid’ah itu diharamkan. Jika haram, niscaya haramlah pengumpulan Al-Quran, yang dilakukan Abu Bakar, Umar, dan Zaid, dan penulisannya di mushaf-mushaf karena khawatir hilang dengan wafatnya para sahabat yang hafal Al-Quran. Haram pula apa yang dilakukan Umar ketika mengumpulkan orang untuk mengikuti seorang imam ketika melakukan shalat Tarawih, padahal ia mengatakan, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” Banyak lagi perbuatan baik yang sangat dibutuhkan umat akan dikatakan bid’ah yang haram apabila semua bid’ah itu diharamkan.
Keenam belas, peringatan Maulid Nabi, meskipun tidak ada di zaman Rasulullah SAW, sehingga merupakan bid’ah, adalah bid’ah hasanah (bid’ah yang balk), karena ia tercakup di dalam dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah kulliyyah (yang bersifat global).
Jadi, peringatan Maulid itu bid’ah jika kita hanya memandang bentuknya, bukan perinaan-perinaan amalan yang terdapat di dalamnya (sebagaimana terdapat dalam dalil kedua belas), karena amalan-amalan itu juga ada di masa Nabi.
Ketujuh belas, semua yang tidak ada pada awal masa Islam dalam bentuknya tetapi perincian-perincian amalnya ada, juga dituntut oleh syara’. Karena, apa yang tersusun dari hal-hal yang berasal dari syara’, pun dituntut oleh syara’.
Kedelapan belas, Imam Asy-Syafi’i mengatakan, “Apa-apa yang baru (yang belum ada atau dilakukan di masa Nabi SAW) dan bertentangan dengan Kitabullah, sunnah, ijmak, atau sumber lain yang dijadikan pegangan, adalah bid’ah yang sesat. Adapun suatu kebaikan yang baru dan tidak bertentangan dengan yang tersebut itu, adalah terpuji “
Kesembilan belas, setiap kebaikan yang tercakup dalam dalil-dalil syar’i dan tidak dimaksudkan untuk menyalahi syariat dan tidak pula mengandung suatu kemunkaran, itu termasuk ajaran agama.
Keduapuluh, memperingati Maulid Nabi SAW berarti menghidupkan ingatan (kenangan) tentang Rasulullah, dan itu menurut kita disyariatkan dalam Islam. Sebagaimana yang Anda lihat, sebagian besar amaliah haji pun menghidupkan ingatan tentang peristiwa-peristiwa terpuji yang telah lalu.
Kedua puluh satu, semua yang disebutkan sebelumnya tentang dibolehkannya secara syariat peringatan Maulid Nab! SAW hanyalah pada peringatan-peringatan yang tidak disertai perbuatan-perbuatan munkar yang tercela, yang wajib ditentang.
Adapun jika peringatan Maulid mengandung hal-hal yang disertai sesuatu yang wajib diingkari, seperti bercampurnya laki-laki dan perempuan, dilakukannya perbuatanperbuatan yang terlarang, dan banyaknya pemborosan dan perbuatan-perbuatan lain yang tidak diridhai Shahibul Maulid, tak diragukan lagi bahwa itu diharamkan. Tetapi keharamannya itu bukan pada peringatan Maulidnya itu sendiri, melainkan pada hal-hal yang terlarang tersebut

Terlampau Memuji Rasulullah SAW?


Terlampau Memuji Rasulullah SAW?
Oleh PANEL PENYELIDIKAN YAYASAN SOFA NEGERI SEMBILAN
Utusan Malaysia, 15 February 2011
Sempena menyambut Mawlid al-Rasul SAW, kita tangguhkan sejenak siri perbahasan kita tentang tawassul dan memilih untuk memetik satu tajuk lain iaitu batas pujian terhadap Rasulullah SAW. Ini adalah kerana dalam keghairahan majoriti umat Islam memuji dan menjunjung Rasulullah SAW dalam menyambut Mawlid Baginda SAW, terdapat juga suara-suara yang menimbulkan salah-faham dengan mendakwa bahawa puji-pujian terhadap Rasulullah SAW adalah suatu yang melampau dan terpesong daripada ajaran Islam. Antara sandaran utama golongan ini ialah sabda Rasulullah S.A.W: “Janganlah kamu melampau-lampau memujiku sebagaimana kaum Nasrani melampau-lampau memuji Isa ibn Maryam.”
Sebahagian orang memahami sabda Nabi SAW di atas dengan makna melarang daripada memuji Baginda S.A.W. Mereka mengira perbuatan memuji Nabi SAW termasuk dalam perbuatan yang melampau dan sikap berlebihan yang tercela dalam agama, yang boleh mengakibatkan syirik. Mereka juga beranggapan, bahawa orang yang memuji Nabi Muhammad SAW, mengangkat kedudukan Baginda SAW melebihi daripada manusia yang lain, menyanjungnya dan menyifatkan Baginda SAW dengan apa saja yang membezakannya daripada manusia yang lain, bererti telah melakukan bid’ah dalam perkara agama dan menyanggahi Sunnah Penghulu segala Rasul SAW.
Ini adalah pemahaman yang salah dan buruk serta menunjukkan kecetekan pandangan orang yang menilai hadis tersebut. Maksud sebenar hadis ialah Nabi Muhammad SAW melarang memujinya secara keterlaluan sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Nasrani terhadap Nabi Isa AS yang mengatakan bahawa Nabi Isa AS itu adalah anak Allah.
Adapun, orang yang memuji Nabi SAW dan menyifatkannya dengan sifat-sifat yang tidak terkeluar daripada hakikat kemanusiaan, di samping meyakini bahawa Baginda SAW adalah hamba Allah dan utusanNya, dan menjauhi keyakinan dan kepercayaan kaum Nasrani, maka sesungguhnya tidak disyaki lagi merupakan orang ini adalah yang paling sempurna tauhidnya.
Tepatlah madah Imam al-Busiri RH dalam qasidah Burdahnya yang menegaskan,
“Tinggalkan cara orang Nasrani (Kristian) dalam menyanjung Nabi mereka (Nabi Isa AS). Ertinya: Jangan katakan Muhammad SAW itu mempunyai sifat-sifat ketuhanan). Selepas itu, terserahlah kepadamu untuk memuji Baginda SAW sesuka hati mu; Kerana hakikatnya keagungan Rasulullah SAW itu tiada had baginya, sehingga mampu lidah mengungkapkannya secara sempurna;
Kemuncak pengetahuan mereka tentang diri Baginda SAW mereka hanya mampu mengatakan bahawa Baginda SAW itu adalah seorang manusia, yang sebenarnya merupakan semulia-mulia dikalangan makhluk Allah seluruhnya.”
Mana mungkin dikatakan bahawa memuji Baginda SAW itu salah sedangkan Allah SWT sendiri memuji NabiNya, melalui beberapa firmanNya termasuk: “Dan sesungguhnya engkau mempunyai akhlak yang sangat mulia.” (al-Qalam:4) Allah juga memerintahkan supaya umat manusia sentiasa beradab bersama Nabi SAW; sama ada ketika berbicara mahupun menjawab panggilannya. Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengangkat suaramu melebihi suara Nabi.” (al-Hujuraat:2)
Allah SWT juga melarang kita daripada berurusan dan bergaul dengan Nabi SAW sebagaimana kita berurusan dan bergaul sesama manusia yang lain, atau memanggil Baginda SAW sebagaimana cara kita memanggil sesama kita. Allah SWT berfirman: “Janganlah kamu jadikan seruan atau panggilan Rasulullah di antara kamu seperti seruan atau panggilan sesama kamu.” (al-Nur:63). Tapi hari ini ada yang menyatakan bahawa menggelarkan Nabi SAW dengan “Sayyidina” itu sebagai salah dan melampau.
Mana mungkin memuji Nabi SAW itu sesat sedangkan para Sahabat RA yang mulia sering memuji Rasulullah SAW. Antara yang terdekepan dalam bab ini ialah Saidina Hassan bin Thabit RA sehingga telah diletakkan satu minbar khas baginya dalam Masjid Nabawi ketika zaman Nabi SAW lagi untuk memuji dan mempertahankan Baginda SAW. Maka antara syair Hassan ibn Thabit RA ialah:
“Wahai tiang tempat bersandar orang yang bersandar! Tempat berlindung orang yang berlindung kepadanya! Tempat meminta tolong orang yang kesusahan, dan penyelamat orang yang memohon penjagaan! Wahai makhluk pilihan Allah bagi makhlukNya! Maka Allah menganugerahkan kepadanya akhlak yang suci bersih; Engkau adalah Nabi dan sebaik-baik keturunan Adam. Wahai Nabi yang pemurah bagaikan limpahan lautan yang luas!”
Rasulullah SAW juga ada memuji dirinya sendiri agar kita semua tahu kadar kedudukan Baginda SAW seperti sabdanya :”Aku adalah sebaik-baik golongan kanan (yang beruntung mendapat nikmat syurga).”“Aku adalah sebaik-baik golongan yang lebih dahulu memasuki syurga.”“Aku adalah anak Adam yang paling bertaqwa dan mulia di sisi Allah, tidaklah aku bermegah-megah dengannya.” (Imam Tabrani dan al-Baihaqi di dalam al-Dala’il)
Pada kesempatan yang lain, Baginda S bersabda: “Aku adalah manusia yang paling mulia di antara manusia-manusia yang terawal dan terakhir dan tidaklah aku bermegah-megah dengannya.” (riwayat al-Tirmizi dan al-Darimi) Di dalam hadith lain pula Abu Sa’id berkata: Sabda Rasulullah SAW: “Aku adalah penghulu anak Adam pada hari Kiamat; dan tidaklah aku berbangga-bangga dengannya. Di tanganku terdapat Liwa’ al Hamdi (bendera yang dipuji); aku juga tidak bermegah-megah dengannya. Tidak ada seorang Nabi pun pada hari itu (Kiamat); baik Adam mahupun yang lain, kecuali semuanya berada di bawah naungan benderaku. Aku juga orang pertama yang dibongkarkan dari bumi dan tidaklah aku berbangga dengannya.” (Riwayat Imam al-Tirmizi)
Maka sempena Mawlid al-Rasul SAW 1432 Hijriyah ini marilah kita memurnikan kefahaman kita dengan menjauhi sangka buruk terhadap mereka yang memuji, menyanjung dan mengagungkan Nabi SAW. Sesungguhnya kemuliaan Nabi SAW itu begitu tinggi hingga terbuka ruang yang begitu luas untuk kita memuji dan mengungkapkan selawat dan salam ke atas Baginda SAW dengan secanggih yang kita mampu. Manakala batasannya pula adalah terhad dan sempit iaitu jangan sampai menafikan sifat asasi Nabi sebagai manusia dan hamba Allah SWT. Semoga Allah SWT mengizinkan kita tergolong di kalangan hamba-hambaNya yang sentiasa memuji dan berselawat ke atas kekasihNya, Nabi Muhammad SAW.

Pandangan Mufti Mesir Mengenai Sambutan Maulid Nabi


Pandangan Mufti Mesir Mengenai Sambutan Maulid Nabi صلى الله عليه وآله وسلم


Fadhilatus Syeikh Dr. ‘Ali Jum’ah, Mufti Mesir, di dalam kitab beliau al-Bayan lima Yasyghal al-Azhaan, pada halaman 164 (soalan 42) menyatakan:
“ ….. Mengadakan sambutan-sambutan peringatan Maulid Junjungan Nabi صلى الله عليه وآله وسلم adalah daripada seutama-utama amalan dan sebesar-besar qurbah, kerana bahawasanya ia adalah luahan atau ungkapan atau ekspresi atas kegembiraan dan kecintaan kepada Baginda صلى الله عليه وآله وسلم. Cinta mahabbah kepada Junjungan Nabiصلى الله عليه وآله وسلم adalah satu dasar daripada dasar-dasar keimanan. Dan telah shohih sabdaan Junjungan Nabi صلى الله عليه وآله وسلم yang menyatakan: “Demi Tuhan yang diriku dalam kekuasaanNya, tidaklah beriman seseorang daripada kamu (yakni tidak sempurna iman) sehinggalah jadi aku paling dikasihinya berbanding ayah dan anaknya” Dan bahawasanya Junjungan Nabi صلى الله عليه وآله وسلم bersabda:- “Tidak beriman seseorang daripada kamu (yakni tidak sempurna iman) sehinggalah jadi aku yang paling dikasihinya berbanding anaknya, ayahnya dan manusia sekaliannya.”

04 Januari 2013

Jemputan ke Majlis Maulid Bulanan Majlis Ta'lim Darul Murtadza Pertama 2013


Jemputan ke Majlis Maulid Bulanan Majlis Ta'lim Darul Murtadza Pertama 2013


MAJLIS "MAWADDAH BI RASULULLAH S.A.W" BERSAMA HABIB SALIM BA'ABAD (ADEN,YAMAN) & TUAN GURU SYEIKH FAHMI ZAM ZAM AL-MALIKI


MAJLIS "MAWADDAH BI RASULULLAH S.A.W" BERSAMA HABIB SALIM BA'ABAD (ADEN,YAMAN) & TUAN GURU SYEIKH FAHMI ZAM ZAM AL-MALIKI